The Past #2

"Kamu jelek kalau sedang menangis!" ucap Ji-hwan yang duduk di sampingku.

Aku tetap menangis. Aku menangis karena ternyata Min-ki menyukai teman sebangkuku. Aku pikir, dia menyukaiku. Dia sering mendekatiku di sekolah. Ternyata, dia mendekatiku karena ingin bertemu dengan Mi-cha.

"Bagaimana kalau kita masuk ke dalam rumah Bo-seok saja? Tadi dia meneleponku dan ingin aku datang," ucap Ji-hwan.

Aku dan Ji-hwan membuka pagar rumah Bo-seok dan membuka pintu rumahnya. "Halo paman!" ucapku.
"Bo-seok ada di dalam kamarnya," ucap ayah Bo-seok yang sedang duduk di ruang depan.

Kamar Bo-seok terlihat berantakan. Beberapa buku berserakan di lantai. Piring bekas makan malam masih ada di atas meja kecil. Tisu tidak tergulung rapih. Selimut juga tidak dilpat dengan rapih.

"Kapan pertandingan buutangkismu?" tanya Ji-hwan.
"Bulan depan," ucap Bo-seok.
"Wah, kamu akan bertanding di negara Cina!" ucap Ji-hwan.
"Aduh, kamar ini berantakan!" ucapku.
"Ji-hwan, ada telepon dari ibumu!" ucap ayah Bo-seok.
"Sebentar ya!" ucap Ji-hwan.

Aku membereskan buku yang berserakan. Saat aku membereskan buku-buku itu, aku melihat Bo-seok yang sedang memperhatikanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya.

"Bo-seok, ini pil apa?" tanyaku.

Bo-seok kaget melihatu memegang sebuah botol bening kecil yang berisi beberapa pil. Bo-seok langsung mengambilnya dari tanganku dan memasukannya ke dalam lacinya.

"Itu bukan apa-apa," ucap Bo-seok.
"Bo-seok, apakah kamu sulit tidur?" tanyaku.

Bo-seok hanya diam. Aku tahu kalau pil itu adalah obat tidur. Mungkin Bo-seok sedang stres dan sulit tidur, sehingga dia membeli pil itu.

"Teman, maaf aku harus pulang! Ibuku bilang, akan ada tamu di rumah kami," ucap Ji-hwan. Ji-hwan keluar dari dalam kamar Bo-seok dan kembali ke rumahnya.

"Bo-seok, aku pulang juga ya!" ucapku.
"Tunggu!" ucap Bo-seok.
"Apa?" tanyaku.
"Temani aku sampai aku bisa tidur," ucap Bo-seok.

Bo-seok menarik lenganku dan menyuruhku untuk duduk di atas kursinya. Bo-seok duduk di atas kasurnya sambil menatapku.

"Ye-rin, apakah kamu masih ingin menangis?" tanya Bo-seok.
"Mmm, bagaimana kamu tahu kalau aku menangis?" tanyaku.
"Aku melihatnya. Saat tadi kamu bertemu dengan Min-ki, aku sedang membuka jendela kamarku," ucap Bo-seok.

Aku kaget. Aku tidak tahu bahwa Bo-seok, orang yang paling cuek diantara kami berempat mengetahui kalau aku menangis di depan rumahnya.

"Aku tidak apa-apa. Menangislah disni," ucap Bo-seok.

Alasan kenapa Bo-seok ingin aku berada di kamarnya sampai dia bisa tidur adalah agar aku bisa menangis sampai aku merasa lega. Aku tidak ingin menangis di hadapannya walau ternyata air mataku tidak dapat ditahan.

"Mau mendengarkan lagu?" tanya Bo-seok.

Aku menggelengkan kepalaku yang menunduk ke bawah. Bo-seok mengambil tisu gulung dan menghapus air mataku. Bo-seok memeluk tubuhku sama seperti Ji-hwan memeluk tubuhku sebelum aku masuk ke dalam rumah Bo-seok.

***

Hari ini adalah malam natal. Aku sudah membuat janji dengan Ji-hwan untuk pergi bersama. Kami akan jalan-jalan sebentar dan makan malam bersama.

"Halo," ucapku saat mengangkat telepon rumah.
"Ye-rin!" ucap ayah Bo-seok.
"Ada apa paman?" tanyaku.
"Bo-seok... Bo-seok ditabrak oleh pengendara sepeda motor. Temanku yang melihatnya di jalan raya meneleponku. Aku sedang berada di luar kota mengunjungi ayahku," ucap ayah Bo-seok.
"Oke paman, aku akan pergi ke rumah sakit tempat dia ditolong," ucapku.

Setelah aku menutup telepon, aku langusng bergegas pergi. Aku memanggil taksi yang lewat dan langsung menuju rumah sakit Seoul.

"Suster, apakah ada pasien bernama Kang Bo-seok?" tanyaku.
"Kang Bo-seok baru saja masuk ke dalam kamar nomor 505," ucap seorang suster.
"Terima kasih," ucapku.

Aku menekan tombol lift dan naik ke lantai lima. Aku membuka pintu kamar nomor 505 dan melihat sosok Bo-seok yang terbaring di atas kasur. Bo-seok sedang tidur.

"Aigo, lagi-lagi makanannya tidak dihabiskan!" ucapku.

Aku merapihkan apa yang ada di atas meja kecil. Aku membuang beberapa lembar tisu, lalu menumpuk sebuah mangkok di atas sebuah piring kotor. Setelah itu, aku duduk di atas kursi sambil memperhatikan Bo-seok.

"Yaampun, aku baru ingat!" ucapku.

Aku pergi ke luar kamar dan menuju ke meja tempat suster berkumpul. Aku meminjam telepon untuk menelepon Ji-hwan.

"Halo," ucapku.
"Halo," ucap seseorang.
"Oppa, apakah Ji-hwan ada di rumah?" tanyaku.
"Lho, bukankah Ji-hwan sedang pergi ke taman untuk menemuimu?" tanya Kim Ji-tae, kakak Ji-hwan.
"Apa?" ucapku kaget.
"Memangnya, kamu ada di mana?" tanya Ji-tae.
"Di rumah sakit Seoul. Bo-seok kecelakaan," ucapku.
"Kamu tunggu disitu! Biar aku yang menyusul Ji-hwan," ucap Ji-tae.
"Terima kasih oppa!' ucapku.

Dua puluh menit setelah aku meminjam telepon dari rumah sakit, Ji-hwan dan Ji-tae oppa datang ke kamar 505. Hari ini Min-ki juga sedang berada di rumah kakek dan neneknya, sehingga dia tidak bisa menjenguk Bo-seok.

"Ji-hwan, mianhe! Tadi paman meneleponku dan memintaku untuk menemani Bo-seok di rumah sakit," ucapku.
"Oh, tidak apa-apa," ucap Ji-hwan sambil menunduk.
"Sudah lama menunggu?" tanyaku.
"Baru 30 menit," ucap Ji-hwan.
"Ji-hwan, kamu tidak apa-apa kan?" tanyaku.
"Tenang saja! Masih ada hari lain," ucap Ji-hwan.
"Ji-hwan, oppa, kalian pulang saja! Kalain tidak perlu membantuku menemani dia," ucapku.
"Kamu tidak apa-apa kalau aku tinggal disini?" tanya Ji-hwan.
"Tidak apa-apa," jawabku.
"Baiklah, kamari aku kalau sudah ada kabar baik!" ucap Ji-hwan.
"Oke," ucapku.

Aku duduk di samping Bo-seok. Temanku yang satu ini masih tertidur pulas. Aku hanya bisa duduk di atas kursi kecil sambil meluruskan kaki. Untungnya, kursi ini bisa untuk meluruskan kakiku.

Aku mulai mengantuk. Aku ingin tidur, tetapi tidak bisa. Aku tidak bisa tidur karena merasa tidak enak dengan Ji-hwan yang sudah lama menunggu malam natal ini.

Aku merasa seseorang memegang tanganku. Aku merasa seseorang menggenggam hangat tanganku. Disaat cuaca sedang dingin, genggaman tangan ini terasa hangat.

Orang itu memakaikan sebuah selimut kepadaku. Orang itu memakaikan selimut dengan satu tangan. Tangannya yang sedang diinfus masih menggenggam tanganku.

Aku tidak tahu ini mimpi atau bukan. Aku merasakan sebuah kehangatan dan orang itu menciumku. Orang itu membelai rambut hitamku setelah menciumku.

***

Setelah matahari terbit, aku membuka kedua mataku. Aku melihat jam dan langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukaku. Setelah itu, aku langsung pulang ke rumahku tanpa berpamitan ke pada Bo-seok. Bo-seok masih tertidur pulas dan aku tidak ingin mengganggunya.

"Selamat natal!" ucap ayahku.
"Selamat natal!" ucap ibuku.
"Selamat natal noona!" ucap adikku.
"Selamat natal appa, eomma, dan Sung-ki!" ucapku.
"Ye-rin, Sung-ki, aku ada hadiah natal untuk kalian," ucap ayahku.

Aku dan Sung-ki menerima masing-masing sebuah hadiah yang diberikan oleh ayahku. Aku mendapat baju baru dan Sung-ki mendapat dompet baru.

"Terima kasih appa!" ucapku dan Sung-ki.

Aku masuk ke dalam kamarku untuk meletakan hadiah dari ayahku. Setelah itu, aku mengambil dompetku yang ada di dalam tasku. Saat aku memasukan tanganku ke dalam tasku, aku menemukan sebuah kartu ucapan natal dan sebuah dompet baru yang belum pernah aku lihat sebelumya.

"Selamat natal, Ye-rin!"

***

Aku keluar rumah untuk menghirup udara sejuk. Hari ini adalah satu hari setelah hari natal. Aku tidak tahu apakah Bo-seok sudah keluar dari rumah sakit atau belum. Aku juga penasaran siapa yang memberikan kartu natal dan dompet baru itu.

"Ye-rin!" ucap seseorang.
"Bo-seok! Kapan kamu keluar dari rumah sakit?" tanyaku.
"Tadi pagi," jawabnya.
"Selamat natal!" ucapku.
"Selamat natal!' ucap Bo-seok sambil tersenyum.
"Hei, Kim Ji-hwan!" ucapku saat Ji-hwan keluar dari dalam pagar rumahnya.
"Hai!" ucap Ji-hwan.
"Selamat natal Ji-hwan!" ucap Bo-seok.
"Ya, selamat natal semuanya!" ucap Ji-hwan.
"Ibuku meminta kalian berdua untuk makan bersama di dalam rumah kami," ucap Ji-hwan.
"Baiklah!" ucapku.

Aku dan Bo-seok masuk ke dalam rumah Ji-hwan. Di atas meja makan sudah tersedia kimchi, tteokpokki, jjangmyun, sup, dan jus jeruk.

"Halo oppa!" ucapku.
"Halo hyung!" ucap Bo-seok.
"Aku mandi dulu ya!" ucap Ji-hwan.
"Aku pergi ke kamarku dulu ya!" ucap Ji-tae.

Hanya ada aku dan Bo-seok berdua di ruang tamu. Karena bosan menunggu pemilik rumah, aku berdiri sebentar di depan puntu rumah Ji-hwan untuk menghirup udara segar di sore hari.

"Ye-rin, terima kasih sudah menemaniku malam natal!" ucap Bo-seok.
"Kamu tahu kalau aku yang menemaniku? Bukankah kamu tertidur pulas dan baru bangun saat besok pagi?" tanyaku.
"Aku tidak tahu apakah aku berjalan sambil tidur atau aku sedang bermimpi. Aku melihat dirimu," ucap Bo-seok.
"Memangnya, apa yang kamu lakukan saat kamu berjalan setengah sadar?" tanyaku.
"Aku rasa, aku membuka selimut untukmu," ucap Bo-seok.
"Benarkah?" tanyaku.
"Kenapa?" tanya Bo-seok.
"Aku sudah tertidur pulas dan aku tidak tahu apakah kamu sedang berjalan setengah sadar atau sedang tidur juga," ucapku.

Ini bukan mimpi! Bo-seok mengakui kalau dia memasang selimut padaku waktu itu. Aku berpikir bahwa semua itu hanya mimpi dan ternyata semua itu bukan mimpi. Aku pura-pura tidak tahu karena aku malu. Aku malu mengakui kalau dia menciumku juga. Aku merasa tidak enak dengan Ji-hwan yang meungkin menyukaiku.

BERSAMBUNG.....

0 Comments