The Past #3

Aku harus melupakan cinta pertamaku yang diam-diam aku simpan selama lima bulan. Sekarang, aku harus kembali ke kenyataan bahwa tidak ada orang yang mengaku suka padaku.

"Hai Ye-rin!" ucap Bo-seok saat keluar dari rumahnya untuk membuang sampah.
"Halo!" ucapku.
"Ye-rin, tiga hari lagi aku akan berangkat ke Cina untuk perlombaan bulu tangkis. Mau ikut?" tanya Bo-seok.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Ayah atau ibuku tidak dapat menemaniku berangkat. Kakekku sakit. Mereka akan berkunjung ke rumah kakekku. Mau ikut tidak? Aku dengar, sekolahmu masih libur musim dingin," ucap Bo-seok.
"Tapi, aku tidak punya passport," ucapku.
"Aku bisa minta kepada asisten di klub bulutangkis untuk membuatkanya. Kamu hanya perlu berkemas," ucap Bo-seok.
"Baiklah," ucapku.
"Terima kasih ya sudah mau pergi untuk menemaniku," ucap Bo-seok.

Setelah percakapanku dengan Bo-seok, Bo-seok masuk ke dalam rumahnya dan Ji-hwan keluar dari dalam rumahnya. Aku menyapanya karena dia tetangga yang baik.

"Hai," ucapku.
"Umm Ye-rin, apakah sabtu ini kamu ada acara?" tanya Ji-hwan.
"Ji-hwan, sabtu ini aku akan ikut dengan Bo-seok ke Beijing. Kedua orang tuanya tidak dapat ikut karena kakeknya sakit. Mianhae," ucapku.

Aku melihat tangan Ji-hwan yang kembali memasukan dua tiket konser ke dalam saku celananya. Aku kasihan dan merasa bersalah padanya. Ini kedua kalinya aku tidak bisa memenuhi ajakannya.

"Ye-rin, apakah kamu menyukai Bo-seok? Kenapa aku selalu tidak bisa mengajakmu pergi bersama?" tanya Ji-hwan.
"Ji-hwan, Bo-seok adalah teman yang baik," ucapku.
"Kalian tidak ada hubungan?" tanya Ji-hwan.
"Tidak," ucapku.
"Apakah karena kamu masih menyukai Min-ki?" tanya Ji-hwan.
"Aku sudah membuang cinta pertamaku dan menganggap bahwa dia hanyalah teman dekat," ucapku.

Min-ki keluar dari gerbang rumahnya. "Aku baru saja ingin memanggil kalian! Ibuku masak banyak makanan," ucap Min-ki.
"Benarkah?" tanyaku.
"Ye-rin, tolong panggil Bo-seok!" ucap Min-ki.
"Baik!" ucapku.
"Ye-rin, biar aku saja yang memanggilnya!" ucap Ji-hwan.

***

Hari ini aku tiba di Beijing. Taksi mengantar aku, Bo-seok, dan seorang asisten dari klub bulu tangkis ke hotel tempat kami akan menginap. Besok pagi, Bo-seok akan bertanding melawan seorang pemain bulu tangkis pria dari Beijing.

"Permisi, aku ingin mengambil dua kunci kamar yang sudah dipesan," ucapku.
"Apa katamu?" ucap petugas hotel dengan bahasa mandarin.
"Aku ingin mengambil kunci kamar kami," ucapku.
"Ye-rin, biar aku saja yang bicara!" ucap Bo-seok.

Bo-seok berjalan ke depan meja resepsionis. Bo-seok berbicara dengan petugas hotel dengan bahasa Inggris.

"Permisi, aku adalah Kang Bo-seok. Aku ingin mengambil kunci kamar untuk dua kamar yang aku pesan lewat telepon," ucap Bo-seok.
"Ini kuncinya!" ucap petugas hotel.
"Terima kasih!" ucap Bo-seok.

Bo-seok memberikanku sebuah kunci kamar hotel dan kami masuk ke dalam lift. Kamar kami berada pada lantai yang sama.

"Ye-rin, kalau besok aku memenangkan pertandingan, apakah kamu mau mengabulkan satu permintaanku?" tanya Bo-seok.
"Oke, aku akan mengabulkan permintaanmu sebagai rasa terima kasih telah mengajakku menginap di Beijing," ucapku.
"Bo-seok, Ye-rin, malam ini kita makan malam di restoran hotel. Ada masakan yang sangat enak," ucap asisten Yoo.
"Aku akan menunggumu setelah selesai mandi," ucap Bo-seok.

***

Hari ini aku duduk manis di tempat penonton perlombaan bulu tangkis. Bo-seok akan bertanding melawan pemain bulu tangkis bernama Wan Ming Hua yang berusia dua tahun lebih tua dari pada Bo-seok. Aku berharap yang terbaik untuk Bo-seok.

"Skor yang didapat oleh Kang Bo-seok dan Wan Ming Hua adalah 20-20. Kita lihat siapa yang akan memenangkan pertandingan terakhir hari ini," ucap seorang komentator.
"Paman, komentator mengatakan apa?" tanyaku.
"Dia bilang kalau skornya 20-20," ucap asisten Yoo.

Bo-seok memandang ke arah kok yang dipukul oleh Ming Hua. Bo-seok memukul kok itu dan Ming Hua membalas pukulannya. Setelah itu, Bo-seok membalas pukulan itu dan melakukan smash. Petugas pengganti papan skor mengganti poin menjadi 20-21 karena Ming Hua tidak dapat membalas pukulan dari Bo-seok.

"Pertandingan tiga set hari ini dimenangkan oleh Bo-seok yang memenangkan set pertama dan set ketiga," ucap komentator.
"Bo-seok!" teriakku.

Bo-seok memegang raket saambil memberikan sebuah senyuman kepada penonton. Panitia memberikan sebuah piala dan Bo-seok berfoto dengan piala itu.

"Bo-seok, selamat ya!" ucapku.
"Tunggu!" ucap Bo-seok.
"Ada apa?" tanya forografer.
"Aku ingin berfoto dengan temanku," ucap Bo-seok.

Bo-seok merangkulku dan kami berfoto.

***

Malam hari setelah menyantap makan malam bersama asisten Yoo, aku dan Bo-seok jalan-jalan di depan sebuah restoran Jepang. Kami ingin menikmati malam ini sebelum besok kami berangkat kembali ke Seoul.

"Bo-seok, apa permintaanmu?" tanyaku.
Bo-seok yang berjalan di sampingku langsung berhenti sebentar dan menatapku. "Jadilah pacarku!" ucap Bo-seok.
"Apa katamu?" tanyaku.
"Aku ingin kamu menjadi kekasihku," ucap Bo-seok.
"Apakah karena kamu ingin bersamaku seperti saat kamu memasang selimut untukku dan mengelus rambutku?" tanyaku.
"Memasang selimut? Hei, aku pikir aku hanya bermimpi!" ucap Bo-seok.
"Tidak, kamu tidak sedang bermimpi!" ucapku.
"Jadi, apakah kamu mau menjadi pacarku?" tanya Bo-seok.
"Iya, aku ingin menjadi kekasihmu. Setelah aku ditolak oleh cinta pertamaku, hanya kamu yang perhatian padaku," ucapku.
"Terima kasih!" ucap Bo-seok.

Aku dan Bo-seok berpelukan sebelum kembali ke hotel tempat kami menginap.

Beginilah kisahku dengan Bo-seok. Aku senang karena Bo-seok menjadi tunanganku saat ini. Aku tidak sabar untuk menikah dengannya bulan depan.

"Sayang, apakah undangannya sudah dipesan?" ucap Bo-seok yang duduk denganku di apartemennya.
"Kemarin aku sudah datang ke percetakan," ucapku.
"Sayang, kamu sedang memikirkan apa?" tanya Bo-seok.
"Aku sedang berpikir kenapa kita berdua bisa pacaran pada akhirnya. Aku juga tidak menyangka kalau kamu menyimpan perasaan padaku walau tahu kalau aku menyukai Min-ki dan Ji-hwan menyukaiku. Aku juga berpikir kenapa hubungan 12 tahun kita berjalan lancar sampai hari ini," ucapku.
"Itu terjadi karena kita saling mencintai. Kita tidak sadar bahwa kita saling mencintai pada awalnya," ucap Bo-seok.
"Sayang, apakah malam ini Ji-hwan akan kembali ke Seoul?" tanyaku.
"Iya. Dia bilang, pesawatnya akan tiba siang ini," ucap Bo-seok.
"Lalu, bagaimana dengan Min-ki?" tanyaku.
"Ye-rin, Bo-seok!" teriak Min-ki dari depan pintu apartemen Bo-seok.
"Hahaha..." ucapku dan Bo-seok yang bersamaan.

TAMAT.....

0 Comments