The Past #1

Aku adalah seorang gadis bernama Lee Ye-rin. Aku adalah orang yang selalu mengingat apapun yang terjadi di masa remajaku, 13 tahun yang lalu. Waktu itu, usiaku baru 17 tahun dan aku merasa senang. Aku punya beberapa teman dekat yang sering bermain denganku.

Kami hidup tanpa kecanggihan barang elektroknik. Kami hanya mengenal radio, televisi, telepon rumah, komputer milenium, telepon umum, dan alat pemutar kaset. Kami tidak berpikir bahwa pada zaman sekarang, begitu banyak diciptakan alat-alat yang sangat canggih. Hal itu yang membuat pertemanan kami terasa bahagia tanpa adanya smartphone dan laptop.

Inilah kisah kami...

November 1992

Musim gugur di kota Seoul. Ibu dan ayahku sudah mempersiapkan pakaian tebal untuk menyambut datangnya musim dingin bulan depan.

"Ibu, aku pergi ke sekolah dulu ya!" ucapku.
"Ye-rin, ini kotak makanmu!" ucap ibuku.
"Terima kasih ibu!" ucapku.
"Hati-hati ya!" ucap ibuku.

Aku membuka pagar rumahku. Di depan rumahku, Jung Ji Hwan sudah berdiri tegak samil membawa tas sekolahnya. "Sedang menunggu siapa?" tanyaku.

"Oh, kelihatannya Choi Min-ki belum keluar dari rumahnya," ucap Ji-Hwan.
"Apa? Oh," ucapku.

Choi Min-ki adalah pria paling pintar diantara kami berempat. Selain pintar, dia baik dan paling perhatian kepada orang tuanya. Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu, Min-ki sangat perhatian kepada ibunya yang merawatnya seorang diri.

Aku satu sekolah dengan Min-ki, sedangkan Ji-hwan satu sekolah dengan Lee Sung-ki, adikku yang usianya hanya berbeda satu tahun dariku. Walaupun kami berbeda sekolah, tetapi setiap pagi kami selalu berangkat dengan bus yang sama karena sekolah kami berada pada arah yang sama.

Seongbuk High School

"Lee Ye-rin!" teriak Kim Mi-cha, teman sebangkuku.
"Kim Mi-cha!" teriakku.
"Berisik sekali!" ucap Min-ki saat berjalan melewati bangkuku.
"Ye-rin, tidakkah kamu berpikir bahwa ketua kelas kita adalah orang yang tampan?" tanya Ye-rin.
"Apa katamu? Kamu bilang Min-ki tampan?" tanyaku.
"Bukankah kamu menyukai dia?" tanya Mi-cha.
"Aku tidak tahu apakah aku menyukainya atau tidak," ucapku.
"Kamu ini bagaimana sih?" tanya Mi-cha.

***

Malam hari setelah jam sekolah selesai, aku pulang menaiki bis. Saat aku turun dari dalam bis, aku langsung jalan kaki menuju rumahku.

Aku takut sekali akan gelap. Aku tidak suka suasana gelap. Mungkin, aku trauma karena tasku pernah dicuri oleh pencuri yang mengendarai sepeda motor di malam hari.

"Sssshhh!" keluhku sambil melipat kedua tanganku di depan perutku.
"Apakah kamu merasa takut?" tanya seseorang.
"Bo-seok? Baru kembali dari tempat latihanmu?" tanyaku.
"Iya," jawabnya.

Bo-seok adalah temanku yang ingin menjadi atlit bulu tangkis. Bo-seok mendaftarkan dirinya di sekolah khusus atlit di daerah Seongdong. Diantara kami berempat, hanya Bo-seok yang tidak mendaftar di sekolah menengah manapun.

"Ye-rin!" teriak Bo-seok yang berjalan di belakangku.

Sebuah sepeda motor yang melaju tepat di sampingku dengan cepat. Sepeda motor itu hampir menabraku.

Bo-seok melindungiku. Bo-seok dengan cepat memeluk tubuhku sehingga bukan aku yang tertabrak.

"Bo-seok, kamu baik-baik saja?" tanyaku.
"Aku baik-baik saja!" ucap Bo-seok sambil tersenyum.
"Umm, Bo-seok!" ucapku kaget saat melihat Bo-seok masih merangkulku. Aku langsung melepaskan rangkulan itu sebelum dilihat oleh Min-ki, orang yang aku sukai.

"Maaf," ucap Bo-seok.

***

Malam ini aku, Bo-seok, Min-ki, dan Ji-hwan duduk bersama di teras rumah Bo-seok. Sambil minum kopi buatan Ji-hwan, kami menghabiskan malam hari bersama.

"Hei, sebentar lagi musim dingin akan tiba. Salju akan turun," ucap Ji-hwan.
"Aku dengar, kalau menyatakan cinta saat salju pertama kali salju turun, cintamu akan abadi," ucap Min-ki.
"Benarkah?" tanyaku.
"Coba saja!" ucap Min-ki.
"Memangnya, ada orang yang kamu suka?" tanya Min-ki.
"Ada!" ucapku.
"Ooo... siapakah orang yang tidak beruntung itu?" ejek Min-ki.
"Hei!" ucapku.

Aku berlari mengejar Min-ki yang menertaiku dan mengejekku. Saat itu juga, aku melihat Ji-hwan dan Bo-seok yang memperhatikan kami. Bo-seok ikut tertawa sedikit, sedangkan wajah Ji-hwan datar. Tidak ada ekspresi apa-apa.

"Diantara kita berempat, mungkin hanya Bo-seok yang tidak menyukai siapa-siapa," ucap Ji-hwan.
"Bo-seok, kamu kuno sekali! Yang kamu tahu hanyalah raket bulu tangkis," ucap Min-ki.

Bo-seok hanya tersenyum. Yang dia lakukan hanya memberikan senyuman manisnya kepada kami semua. Bo-seok memang paling pendiam diantar kami berempat. Dia jarang menyampaikan apapun yang dia rasakan. Kalau dia merasa sakit, dia jarang mengatakan kepada orang lain yang berada di sekitarnya, termasuk kepada kedua orang tuanya.

Setelah mengobrol dengan mereka, aku puang ke rumah. Aku berjalan dengan Ji-hwan karena rumah kami bersebelahan.

"Bo-seok, habiskan malam natal ini denganku!" ucap Ji-hwan.
"Kenapa? Kamu tidak punya teman lain selain aku?" tanyaku.
"Bukankah kamu merasa salah padaku dan kamu berjanji untuk mengabuklan permintaanku? Aku ingin menghabiskan malam natal denganmu," ucap Ji-hwan.
"Maaf Ji-hwan, aku pikir-pikir dulu ya!" ucapku.
"Telepon aku kalau sudah tahu jawabannya ya!" ucap Ji-hwan.

***

Desember 1992

Musim dingin tiba di pada pertengahan bulan ini. Hari ini hari Minggu dan menurut ramalan cuaca, hari ini salju pertama akan turun.

Aku menyisir rapih rambutku setelah keluar dari kamar mandi. Aku tidak ingin terlihat jelek saat bertemu dengan orang yang aku suka. Aku ingin mengatakan isi hatiku hari ini.

Aku berdiri di depan rumahku. Aku berjalan ke depan pagar rumah Min-ki. Aku mundar-mandir di depan rumahnya sampai Min-ki keluar dari rumahnya.

Jantungku berdetak kencang. Aku tidak tahu apakah aku merasa senang atau takut.

"Ye-rin?" tanya Min-ki.
"Min-ki, ada yang ingin aku katakan," ucapku.

Aku dan Min-ki berdiri berhadapan didepan pagar rumahnya. Aku menatap kedua matanya yang memandang ke arah lain.

"Aku... Aku suka padamu!" ucapku.

Aku dengan berani mengatakan hal itu. Aku tidak tahu kenapa aku dengan berani mengatakannya. Semalam, aku takut hal buruk akan terjadi padaku. Aku hanya ingin mendengar hal bagus dari mulut Min-ki saat ini.

"Ye-rin, aku tidak menyukaimu. Aku menyukai Mi-cha," ucap Min-ki.
"Apakah kamu keluar dari rumahku karena kamu ingin pergi untuk menemui Mi-cha?" tanyaku.
"Iya, aku dan Mi-cha sudah membuat janji kemarin," ucap Min-ki.
"Kamu jahat! Aku pikir, cintaku tidak akan bertepuk sebelah tangan!" ucapku.
"Maaf," ucap Min-ki.

Min-ki pergi meninggalkanku sendirian didepan rumahnya. Aku menangis sambil duduk di depan rumah Bo-seok karena ada sebuah kursi panjang di depan rumahnya.

BERSAMBUNG.....

0 Comments