I'm Afraid to Fall in Love Again

Aku masih ingat bagaimana rasanya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Bahkan, untuk kedua kalinya dan seterusnya. Senang, sedih, dan kesal, semuanya sudah pernah aku rasakan. Dan sekarang, aku tidak terlalu memikirkan hal itu lagi.

Aku memang belum pernah sukses dengan perasaan cinta itu. Tak satupun dapat dikatakan berhasil. Rasa takut yang membuatku mundur pada akhirnya. Sampai-sampai, aku takut untuk jatuh cinta lagi.
Walaupun orang di sekitarku menertawakanku atas apa yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Ini hidupku, bukan hidup mereka. Akupun belum sempurna, untuk apa aku mengurusi masalah orang lain? Bukankah menyempurnakan kisah hidup diriku sendiri jauh lebih penting?

Aku sudah dewasa, bukan lagi seorang remaja perempuan. Umurku sudah bukan belasan tahun lagi. Sudah banyak pengalaman hidup yang pernah aku lalui, entah itu tentang persahabatan, keluarga, kisah cinta, dan lainnya. Tapi, rasa takut dan khawatir masih terus membelengguku. Membuat hatiku menutup pintu untuk sementara waktu ini.

Hujan turun membasahi kota yang besar ini. Aku, terus berjalan sambil memegang gagang payung baruku yang sengaja aku beli agar aku dapat berjalan menerjang hujan yang deras ini.

"Aish, sudah pakai payung, tapi tetap basah," aku mengeluh di dalam hatiku.

Berjalan sendirian seperti ini membuatku dapat berpikir jernih sejenak. Aku berpikir tentang recana apa yang akan aku lakukan di masa depanku. Apakah aku akan terus menjalani hidupku seperti sekarang ini? Ataukah, aku harus menyiapkan suatu perbubahan besar dalam hidupku?

"Ada apa? Kenapa bajumu basah? Padahal, di tangan kirimu ada sebuah payung. Kelihatannya, payung baru ya?" Kara berbicara kepadaku begitu aku sudah tiba di depan meja kerjaku dan melipat payung baruku.

"Ah, kamu benar! Kenapa aku sudah pakai payung, tapi aku masih kebasahan ya? Bodoh, bodoh, bodoh! Tadi aku memang sengaja untuk membeli sebuah payung baru. Daripada aku terus menunggu dan melewati jam berakhirnya istirahat, lalu aku mendapat teguran dari atasan kita," jawabku.

"Untung saja kamu memakai mantel hitam kesayanganmu. Bagaimana jika tadi kamu meninggalkan mantelmu? Bisa-bisa, kamu kedinginan," ucap Kara.

"Ya, aku sedikit merasa beruntung," jawabku.

Setelah aku duduk pada kursi kerjaku, atasanku datang untuk duduk pada kursinya. Kami kembali bekerja. Aku langsung memakai earphoneku untuk mendengarkan lagu sambil bekerja. Begitu juga dengan Kara, teman satu divisiku.

"Eimi," seseorang menegurku, tetapi aku tetap mendengarkan lagu yang ada pada laptop.

"Eimi, ada yang cari kamu," tegur Kara sambil melambaikan tangannya di hadapan wajahku.

"Hinata, ada apa?" tanyaku sambil melepaskan earphoneku.

"A... Mm... Eimi..." ucap Hinata dengan terbata-bata dan gugup.

"Ya?" tanyaku.

"Boleh minta list hasil testing aplikasi? Mmm.. yang menu baru itu, yang kemarin kamu coba," ucap Hinata.

"Oh, aku kira ada hal lain sampai duduk persis di sampingku. Ya, nanti aku kirim lewat email ya," ucapku.

"Eimi, apakah aku boleh duduk di sini? Mmm, dingin sekali di tempat duduku," tanya Hinata.
"Boleh saja. Mika sedang pergi ke kantor client. Asalkan kamu tidak membuat barang-barangnya berantakan saja," jawabku. Aku kembali memakai earphoneku.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Aku melanjutkannya dengan perasaan was-was. Bagaimana tidak, seorang laki-laki tiba-tiba duduk di sampingku? Untuk apa? Apakah dia sedang berusaha untuk mendekatiku? Kalau iya, memangnya ada hal menarik dari dalam diriku? Bahkan, sebelumnya kami tidak dekat sama sekali. Kami juga berbeda divisi.

"Eimi, boleh aku berbicara kepadamu?" Hinata bertanya kepadaku tiba-tiba.

"Ini masih jam kerja. Ada apa?" tanyaku.

"Mari kita ke balkon lantai atas sebentar," ajak Hinata.

"Apa? Ke balkon sebentar? Bagaimana kalau ada orang lain yang melihat kita dan berpikir yang tidak-tidak? Kalau kamu mau  meminta penjelasan dariku mengenai hasil tes aplikasi, bukankah lebih baik jika kita membahasnya di ruang rapat? Kita bisa mengajak orang lain agar hasilnya dapat disampaikan kepada banyak orang dan aku tidak perlu untuk mengulang penjelasanku berkali-kali?" tanyaku.

"Bukan itu maksudku. Aku ingin membicarakan hal lain," ucap Hinata.

"Hal lain seperti apa? Nanti saja, mungkin jam 5 atau jam setengah 6 ya," jawabku.

"Memang aku tidak ingin mengatakannya sekarang. Aku tahu kalau sekarang masih jam kerja. Kita masih punya tugas yang harus diselesaikan. Nanti, langsung bertemu di balkon saja ya," ucap Hinata.

"Ya," jawabku.

Setelah waktu menunjukan pukul setengah enam sore, yaitu waktu berakhirnya jam kerja, Hinata langsung membereskan laptopnya. Setelah itu, ia memberikanku sebuah kode untuk mengikutinya ke balkon atas. Dia memilih untuk menggunakan tangga darurat dan aku mengikutinya setelah beberapa detik ia berjalan terlebih dahulu.

"Hinata, ada apa memintaku kemari?" tanyaku dengan sangat penasaran.

"Watashi wa..." ucap Hinata.

"Kenapa? Ada yang bisa aku bantu? Apakah kamu punya masalah diluar masalah tentang pekerjaan? Aku bisa membantumu kalau kamu mau," ucapku.

"Kamu tahu kan, kalau aku bukan berasal dari keluarga yang kaya raya? Aku masih harus menbiayai uang kuliah adik perempuanku dan juga biaya untuk membeli obat. Ayahku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, dan ibuku bukanlah seorang career woman dengan gaji yang tinggi. Ibuku hanya mengelola toko milik neneku yang tidak besar. Dari pagi sampai malam, ia berada di toko itu. Sehingga, adik perempuanku adalah tanggung jawabku sebagai satu-satunya laki-laki di keluargaku saat ini. Apakah kamu merasa malu jika kamu mempunyai kekasih sepertiku? Maksudku, aku mengalami banyak kesusahan dalam hidupku. Tidak seperti dirimu yang memiliki keluarga lengkap dengan kondisi keuangan yang tergolong menengah keatas," Hinata memberi pengakuan di hadapanku.

"Aku tahu. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Tapi maaf, memangnya kamu adalah kekasihku? Kita hanya kerabat kerja kan? Yah, walaupun beberapa kali kamu pernah menolongku. Tapi, hubungan kita hanya sebatas teman kerja saja. Kamu pasti pernah mendengar bahwa aku adalah wanita yang sulit untuk didekati, bukan? Selama aku bekerja di perusahaan ini, belum pernah sekalipun aku punya kekasih. Kamu tau kenapa? Karena, aku takut untuk jatuh cinta. Aku takut untuk jatuh cinta untuk kedua kalinya. Jadi, aku tidak ingin menerima perasaanmu. Gomennasai," ucapku.

"Eimi, aku pikir, selama ini kamu punya perasaan terhadapku. Mulai dari hari-hari saat kita training sebagai karyawan baru, kerja bersama, acara gathering tahunan perusahaan, dan lainnya. Ternyata, aku terlalu berlebihan menanggapi semua itu. Aku sungguh sangat kecewa dengan diriku sendiri. Sudah dua tahun aku menyimpan perasaan ini. Tapi, apa daya. Ternyata, kamu tidak menyukaiku sebagai pria. Aku tidak berhak untuk memaksamu. Kamu berhak untuk menentukan pilihanmu sendiri," ucap Hinata.

"Hinata, bukannya aku tidak menyukaimu. Aku... aku diam-diam mengagumimu. Aku diam-diam menyukaimu. Tapi apa? Aku tidak berani untuk mengatakan perasaanku sekalipun. Dan aku selalu berusaha untuk melupakannya. Kenapa? Karena aku selalu merasa takut untuk jatuh cinta lagi. Masa laluku tentang percintaan tidak berjalan dengan mulus. Berkali-kali aku jatuh cinta, tapi tak satupun berhasil. Dan ketika aku jatuh cinta lagi dan orang yang aku cintai adalah kau, aku semakin putus asa. Tak sekalipun kamu menunjukan tanda-tanda rasa cinta kepadaku. Maka dari itu, aku menutup pintu hatiku rapat-rapat. Aku berkomitmen untuk tidak jatuh cinta lagi karena aku takut. Aku takut jika hatiku terluka," ucapku.

"Eimi, kamu salah besar! Aku juga mencintaimu. Aku tulus mencintaimu. Untuk apa aku mendekatimu tanpa maksud tertentu? Justru, aku yang tidak berani karena ada masalah dengan kehidupanku. Aku takut kalau kamu tidak mau bersamaku karena aku bukan orang kaya. Atau, kamu takut kalau aku akan merepotkanmu dengan memanfaatkanmu karena mungkin saja aku akan meminta uang kepadamu. Aku malu pada diriku sendiri," ucap Hinata.

"Tidak, aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Aku sudah mendengar banyak tentangmu dari teman lain dan aku bisa menerima kenyataan itu. Bukankah tugasku adalah melengkapi kekuranganku? Dan kamu, kamu juga bisa melengkapimu kan? Kamu menyempurnakan laporanku, membantu tugasku, dan sebagainya. Tapi, rasa takut akan jatuh cinta masih ada pada diriku. Jadi," ucapku.

"Aishiteru. Aku tidak peduli dengan rasa takutmu. Terima kasih sudah berterus terang kepadaku. Jadi, apakag kita sudah menjadi sepasang kekasih saat ini?" Hinata bertanya untuk mendapatkan kepastian dariku.
"Mmm, setelah kamu mengabulkan satu permintaan dariku," ucapku.

"Apa itu?" tanya Hinata.

"Cium aku diatas kereta gantung malam ini," ucapku.

"Apa katamu tadi? Kamu ingin menaiki kereta gantung? Aku tidak merasa keberatan. Tapi, kenapa harus kereta gantung?" tanya Hinata.

"Karena didalam kereta gantunglah aku merasa sangat dicintai oleh kedua orang tuaku. Mereka merangkulku, mencium keningku, dan memeluk tubuhku di dalam kereta gantung di hari ulang tahunku yang jatuh pada musim dingin," ucapku.

"Jadi, kalau aku berani untuk menciummu di dalam kereta gantung, kamu mau menjadi kekasihku?" tanya Hinata.

"Ya, asalkan kamu melakukannya dengan tulus. Bukan sekedar sebuah syarat saja. Ayo kita pergi ke tempat kereta gantung!" ajak aku.

"Ayo, siapa takut?" ucap Hinata.

Aku dan Hinata meninggalkan balkon gedung kantor kami. Aku menumpang pada mobil yang dikendarai oleh Hinata untuk menuju ke lokasi tempat kereta gantung berada. Sesuai janji, Hinata mencium bibirku di dalam kereta gantung. Tentu saja, ia menjadi kekasihku.
Tamat

0 Comments