Sakura #1

Tokyo, 2003

"Kei, apakah sepuluh tahun dari sekarang kita masih bisa melihat pohon sakura yang bermekaran pada musim semi?" tanya Michi Shimizu.
"Kamu ini bodoh ya? Tentu saja! Selama dunia belum kiamat, aku yakin kalau pohon bunga sakura masih akan tumbuh di negara kita," jawab Kei Saito sambil memegang setangkai bunga Sakura yang diambilnya di pinggir jalan.
"Kalau sepuluh tahun lagi kita bertemu, aku ingin memberikan setangkai bunga sakura untuk anak perempuan yang aku sukai. Kei, apakah kamu akan menungguku sepuluh tahun lagi?" tanya Michi.
"Apa? Aku rasa, kita akan tetap berteman sampai selamanya. Ya, berteman. Kita masih berumur dua belas tahun hari ini. Apa yang diketahui oleh anak berumur dua belas tahun soal cinta?" ucap Kei.

Michi mencium pipi Kei dan berlari setelahnya. Kei kaget dan pipi Kei sedikit memerah. Michi kecil itu berlari untuk meraih sepeda miliknya dan berusaha untuk meninggalkan Kei yang masih duduk di pinggir jalan sambil menatap sungai Sumida.

"Hei!" teriak Kei.

Kei bangkit dari posisinya. Kei berlari mengejar teman nakalnya itu dengan kedua kakinya. Michi tetap mengayuh sepedanya.

"Awas!!!" ucap Kei.

Michi kecil menabrak sebuah batu yang tidak dilihatnya. Dirinya terjatuh dan darah mengalir dari pinggir kepalanya.

Kei dengan panik mengeluarkan selembar tisu yang tertinggal di dalam kantung rok yang dipakainya. Di bersihkannya sedikit demi sedikit darah yang mengalir dari kepala Michio.

"Michio, kalau aku sudah besar, aku ingin menjadi seorang dokter untuk menebus kesalahanku. Karena aku, kamu jadi terluka seperti ini," ucap Kei.

***

Tokyo, 2013

Kei dengan wajah manisnya berjalan dari lantai satu gedung rumah sakit Matsuzawa. Dirinya sedang menjalani kerja praktek sebagai seorang dokter untuk tahap awal sebelum dinyatakan sebagai dokter resmi.

"Dokter Saito, mari kita mengecek ke ruang operasi lantai tiga. Satu jam lagi akan diadakan operasi. Kita harus mengecek apakah semua peralatan yang kita butuhkan sudah lengkap atau belum," ucap dokter Yamada, dokter yang membimbing Kei selama masa kerja praktek.
"Aku sudah memberi tahu kepada suster Ishikawa untuk mempersiapkan alatnya," ucap Kei.
"Kerja yang bagus!" ucap dokter Yamada.
"Dokter Yamada, ini laporan yang dokter minta kemarin," ucap Kei.
"Hmm... kamu sangat teliti saat menulis tentang pasien di kamar nomor 303. Oh iya, jangan lupa isi perutmu sebelum kita melakukan operasi nanti," ucap dokter Yamada.
"Baik!" ucap Kei.

Kei meninggalkan ruang kerja dokter sambil memegang botol minum yang dibawanya. Kei ingin berjalan menuju kantin di rumah sakit Matsuzawa.

"Moshi-moshi," ucap Kei saat seseorang meneleponnya.
"Kei, mau ikut aku tidak? Aku ingin makan nasi kari ayam," ucap Saki Shinobu, teman dekat Kei.
"Aduh, aku harus menemani dokter Yamada untuk melakukan operasi setelah jam istirahat. Aku tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Hei, memangnya aku ini sama denganmu? Kamu beruntung sekali, hari ini dokter Fujimoto ada urusan keluarga sampai kamu juga ikut pulang cepat," ucap Kei.
"Karena itu, aku ingin sedikit bersenang-senang. Aku lelah sekali. Kemarin kami padat," ucap Saki.
"Lain kali saja. Sudah ya, aku lapar sekali," ucap Kei.

Kei mengantri di kantin untuk mendapatkan jatah makan siangnya. Para koki yang bekerja di rumah sakit hari ini memasak katsu, salah satu makanan kesukaan Kei,

"Selamat siang dokter Saito!" ucap dokter Ryo Yamada.
"Huh?" ucap Kei kaget.
"Aku hanya ingin makan siang denganmu. Bisa kan? Kursi lain sudah penuh," ucap dokter Yamada.
"Silahkan," ucap Kei.
"Halo dokter Yamada!" ucap seseorang.
"Dokter Takashi? Bukankah hari ini kau tidak ada jadwal praktek?" tanya dokter Yamada.
"Memangnya aku tidak boleh berkunjung kesini?" tanya dokter Takashi.
"Bilang saja kamu ingin mencari pacarmu. Dia sudah pergi entah kemana. Oiya, ini dokter Saito, anak bimbinganku," ucap dokter Yamada.
"Halo, namaku Kei Saito," ucap Kei.
"Halo," ucap dokter Takashi.
"Aku lihat, dokter Kimura ada di salah satu ruang pasien," ucap dokter Yamada.
"Baiklah, setelah jam makan siang aku akan mencarinya," ucap dokter Takashi.

***

Setelah satu jam berada di ruang operasi, Kei keluar dengan perasaan lega. Operasi berjalan lancar. Dirinya berjalan menuju ruang dokter untuk duduk sebentar.

"Huh," keluh Kei.
"Ada apa Kei?" tanya Nori, teman kuliahnya.
"Akhirnya.... Ah, hari yang padat," ucap Kei.
"Kei, aku dengar, ada pasien yang lumayan cakep. Kamu mau lihat tidak?" tanya Nori.
"Hah? Kenapa kamu melaporkan hal itu kepadaku?" tanya Kei.
"Siapa tahu cocok denganmu. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Kita sudah saling mengenal sejak kelas satu sekolah menengah atas, tetapi belum pernah sekalipun aku mendengar bahwa dirimu punya kekasih," goda Nori.
"Siapa? Kamar nomor berapa? Sakit apa dia?" tanya Kei.
"Hahaha... dia tidak datang untuk dirawat. Dia akan mengecak kepalanya di ruang praktek. Beberapa bulan sekali dia memang mengontol kepalanya. Dia pernah mengalami benturan hebat," ucap Nori.
"Kamu kenal dia?" tanya Kei.
"Tentu! Kami pertama kali bertemu saat di Osaka. Sewaktu aku dan dia sama-sama bersekolah pada sekolah menengah pertama yang sama," ucap Nori.
"Baiklah, aku ikut denganmu. Jam berapa kamu akan praktek dengan dokter Masaki?" tanya Kei.
"Sekitar sepuluh menit lagi. Yuk kita ke dekat ruang praktekku!" ucap Nori,

Nori dan Kei berjalan bersama menuju deretan ruang praktek para dokter. Dokter Masaki sudah ada di dalam ruang prakteknya, disusul oleh suster Osada dan Nori. Kei duduk di ruang tunggu yang ada di depan ruang praktek itu.

"Halo!" ucap seseorang.
"Halo kawan! Bagiamana kabarmu hari ini?" tanya Nori.
"Aku? Aku baik-baik saja!" ucap Ren Okuda.
"Ren, ini Kei, temanku," ucap Nori.
"Halo," ucap Ren,
"Haaaloo...." ucap Kei.
"Ada apa Kei?" tanya Nori.
"Kamu... kamu mirip sekali dengan temanku," ucap Kei.
"Teman?" tanya Nori.
"Aku punya teman sewaktu masih kecil. Namanya Michi Shimizu. Dia meninggalkan kota Tokyo setelah lulus dari sekolah dasar," ucap Kei.
"Oh," ucap Ren.
"Ren, kamu tunggu di depan dulu ya! Aku dan dokter pembimbingku akan mempersiapkan ruang praktek dulu," ucap Nori.

Kei dan Ren duduk bersebelahan di ruang tunggu. Nori kembali masuk ke dalam ruang praktek. Kei duduk sambil memegang kaleng sprite yang dibelinya lewat mesin minuman dekat ruang dokter.

"Kamu dokter kerja praktek juga?" tanya Ren.
"Iya, aku satu angkatan dengan Nori," ucap Kei.
"Omong-omong, aku rasa aku pernah melihat orang yang mirip sepertimu. Ah, aku lupa dimana," ucap Ren.
"Oh ya? Tapi, wajahku ini tidak pasaran lho!" ucap Kei.
"Iya, aku tahu itu! Setiap orang sudah diciptakan berbeda-beda," ucap Ren.
"Kamu bekerja sebagai apa?" tanya Kei.
"Fotografer. Aku suka sekali itu. Selain itu, aku juga suka melukis. Hanya saja, aku lebih ke arah fotografer," ucap Ren.
"Oh ya? Aku jadi teringat dengan teman lamaku yang entah ada di mana. Dia memberikanku sebuah lukisan sebagai hadiah terakhirnya sebelum keluarganya pindah rumah ke Osaka," ucap Kei.
"Lukisan apa?" tanya Ren.
"Bunga sakura. Bahkan, kami berjanji untuk kembali melihat bunga sakura lagi. Kami berjanji akan sama-sama melihatnya sepuluh tahun dari tahun itu. Ya, kurang lebih saat musim semi tahun ini," ucap Kei.
"Sekarang masih musim dingin. Satu bulan lagi aku rasa kita akan memasuki musim semi," ucap Ren.
"Okuda Ren!" ucap suster Osada.
"Kei, aku masuk dulu ya!" ucap Ren.
"Oke!" ucap Kei.

Ren masuk ke dalam ruang praktek yang sudah terbuka pintunya. Suster Osada mempersilahkan pria itu untuk masuk ke dalam ruang itu. Dokter Masaki meletakan stetoskop miliknya di atas meja.

"Dokter Yasuda, tolong periksa pasien ini dulu. Aku ingin ke kamar mandi," ucap dokter Masaki.
"Baik!" ucap Nori Yasuda.

Nori berjalan mendekati Ren. Dipegangnya kepala Ren. Diperiksanya bagian yang pernah mengalami luka.

"Apakah masih terasa sakit?" tanya Nori.
"Sudah tidak seperti waktu itu. Yah, sudah sangat baik lah," ucap Ren.
"Sebenarnya, aku penasaran kenapa kamu sampai seperti ini," ucap Nori.
"Kata ibuku, sewaktu aku berusia dua belas tahun, aku mengalami kecelakaan saat sedang bermain sepeda. Aku menabrak sebuah batu besar dan kepalaku mengalami benturan. Tidak hanya itu. Saat aku bankit setelah menabrak batu, aku berlari dan kalau tidak salah aku tertabrak sebuah mobil," ucap Ren.
"Lalu, kenapa kamu pergi meninggalkan kota Tokyo?" tanya Nori.
"Entahlah, itu kemauan ibuku. Kamu kan mengerti kalau ibu dan ayahku sudah lama bercerai. Kurang lebih beberapa minggu sebelum kecelakaan itu. Menurut informasi yang aku dapatkan dari ibuku. Aku masih tidak mengigat semuanya. Aku penasaran. Apakah kamu bisa membantuku?" tanya Ren.
"Membantu dalam hal apa?" ucap Nori sambil memeriksa bahu Ren yang sempat mengalami gangguan.
"Aku ingin menemukan pasangna dari sebuah foto yang habis dirobek. Tampaknya, ada bagian dari foto aslinya yang hilang," ucap Ren saat mengambil dompetnya.
"Kelihatannya kamu sedang bergandengan tangan dengan seseorang," ucap Nori.
"Maka dari itu. Aku rasa orang itu adalah teman dekatku," ucap Ren.
"Ren, apakah bahumu masih sakit?" tanya Nori.
"Tidak kok," ucap Ren.
"Aku akan mengolesi salep untuk menghilangkan bekas luka di bahumu. Oiya, kemarin kamu sudah melakukan ronsen untuk isi kepalamu. Setelah aku lihat, kerusakan di otakmu sudah membaik. Aku rasa, semua ingatanmu akan kembali kurang lebih satu bulan lagi. Kalau perkiraanku akurat ya," ucap Nori.
"Dokter jenius mana mungkin salah," goda Ren.
"Mungkin saja!" ucap Nori.
"Sekarang sudah selesai?" tanya Ren.
"Sudah! Jangan lupa seminggu sekali olesi salep itu di bagian bekas lukamu," ucap Nori.
"Iya! Terima kasih ya!" ucap Ren.
"Suster Osada, tolong panggilkan pasien selanjutnya!" ucap Nori.

Ren keluar dari ruang praktek itu dan dokter Masaki kembali datang ke ruang prakteknya.

"Kei!" ucap Ren.
"Ya?" tanya Kei.
"Apakah kamu suka dengan fotografi?" tanya Ren.
"Sedikit. Kenapa?" tanya Kei.
"Datanglah ke pameran fotografi bersamaku. Hari minggu ini. Mau tidak?" tanya Ren.
"Hmmm.... baiklah aku akan datang," ucap Kei.
"Baiklah, kita bertemu di depan T plaza ya!" ucap Ren.
"Jam berapa?" tanya Kei.
"Jam lima sore. Sayonara!" ucap Ren.
"Sayonara!" ucap Kei.

BERSAMBUNG.....

0 Comments