#4 Apakah Aku Malu?

Cerita pada bagian ini berkaitan dengan bagian sebelumnya, yaitu aku bangga dengan pria yang attitute-nya baik dan pekerja keras.

Kalau ditanya, aku malu gak? Gak, untuk apa? Malu tuh kalau dapat pria yang punya riwayat kriminal, tukang bohong, selingkuh, main-main gak mau serius, suka main fisik, dsb.

Suatu hari, aku pernah ngobrol sama papaku kurang lebih begini: "Pa, kalau di masa depan aku ketemu jodoh, tapi pas menikah kita tidak gelar pesta besar, gimana? Kita undang tamu secukupnya aja. Atau, nikah di Gereja aja, lalu makan-makan intimate untuk keluarga dan teman dekat saja." Jawab beliau "Gak masalah. Toh buat apa undang terlalu banyak tamu? Cuekin aja kalau ada si A, B, C yang sinis ke kamu karena kamu gak mau undang. Emang mereka siapa? Emang kalau mereka datang, ada pengaruh besar sama kehidupan rumah tangga kamu? Itu si X (salah 1 sepupuku) juga gak ngundang banyak orang waktu menikah. Papa sih kalau jadi si A, B, C malah senang gak diundang. Capek tau persiapan ke kondangan orang lain."

Kalau kita mau menghemat pengeluaran yang tidak perlu dikeluarkan walaupun mampu, tidak perlu malu. Apakah aku malu tidak show off ke orang-orang sekitarku? Tidak sama sekali. Justru aku akan lebih bangga kalau aku tidak menyusahkan siapapun dan tidak perlu berhutang untuk sesuatu yang tidak wajib ada pada kehidupanku. Berkali-kali aku tegaskan kepada orang-orang yang keliatannya agak kepingin masuk dalam daftar jadi bridesmaid-ku. Aku kasih paham bahwa sejujurnya bukan mimpi utamaku bisa menikah dengan menggelar resepsi mewah sampai butuh bridesmaid. Mereka kecewa? Mungkin iya, tapi mereka gak bilang langsung kepadaku. Aku bilang sambil ketawa: "Lah, emang kenapa kalau gue nikah di rumah ibadah doang?". Mereka atau ada lah salah 1 teman kecewa, karena rumah ibadah yang aku maksud itu adalah Gereja, sedangkan 1 orang itu adalah non-katolik. Lagian, baru begini udah minta jadi bridesmaid?

Yang penting bagiku adalah tidak perlu menyusahkan orang lain untuk sesuatu yang tidak perlu dibuat ribet. Simpelnya gini: aku berhasil beli piano dan kamera dengan uangku sendiri tanpa dikasih uang dari orang lain. Waktu dulu ketika aku sering diminta lembur oleh atasanku yang sudah bukan atasanku lagi, aku sebenarnya ingin tolak. Karena jatohnya, aku masuk di hari off. Tapi, akhirnya aku imbangin dengan giliran, artinya ada masa aku mengiyakan, ada masa aku tolak. Lalu, ketika aku mendapat uang lembur walau tidak seberapa besar, aku tabung. Jadi, aku ada uang tambahan untuk aku beli piano pertamaku. Apakah papaku keberatan akan itu? Tidak. Kata beliau, selagi aku free untuk lembur dan sanggup, ya gak apa. Asal jangan di setiap hari tanggal merah aku lembur. Walaupun mentalku agak jadi bermasalah sih, tapi aku tidak malu untuk itu. Toh aku memang ada tujuan untuk membeli sesuatu.

Kenapa aku panjang lebar cerita soal pendapat papaku dan usahaku untuk membeli barang yang aku mau? Karena aku mau kasih tau, kalau nothing's wrong untuk berusaha semampu kita, bekerja keras, dari awal sampai tujuan kita tercapai. Gak perlu minder. Buang tuh omongan orang lain yang negarif! Biarin aja mereka hidup senang, pamer ini itu. sementara kita lagi sibuk untuk mencapai tujuan kita dengan cara apapun.

Comments

Post a Comment

Popular Posts